Jumat, 06 Februari 2009

Catatan:
Ini adalah Bagian Pertama cerita berantai dalam grup Omahkisah di Facebook. Cerita ini disemangati oleh keinginan berkomunikasi, berekrespresi secara bebas, dalam hal yang lebih khusus: menulis. Jadi, rangkaian cerita ini memiliki gaya tutur dan pengungkapan yang sangat beragam. Seperti Mao Tse Tung bilang, ‘Biarkan seribu bunga berkembang’, kisah ini tak semata seperti itu; tapi juga bagaimana seribu bunga yang berkembang itu bisa tumbuh bersama di sebuah taman yang asri dan penuh harmoni. (Salam, Saroni Asikin–pemancing kisah)

Pencerita bagian ini: Saroni Asikin, Yudhie Dusone Yarcho, Anggun Puspita, Cesi Lia, Bustanul Bokir Arifin, Mas Burhan, Hery Sudiono, Wien Tanpaoo, Asri Wijayanti, Toto Widyatmoko, Ida Nursanti, Mulyanto Ari Wibowo, Ndok Ceplok.
Cerita pada bagian ini mulai ditulis 30 Januari 2009, pukul 23:38.


BAGIAN SATU

Arial terlonjak dari tidur dan merasakan jantungnya berdeburan. Tubuhnya basah oleh keringat. Angin jekut dini hari yang masuk lewat jendela kamar rumah pantainya segera menampari dirinya. Tetap berkeringat. Jantungnya terus berdeburan seperti ingin berlomba dengan debur ombak dari pantai. O hutan, pohon-pohon birch dan aum serigala. Muka Georgia pucat dengan seguris senyuman bibir terpacak pada sebatang birch tua. Arial melolong lalu dia terbangun dari tikaman horor mimpi itu.
Sudah tiga malam mimpi itu selalu datang. Tiga malam sejak Georgia tak lagi dia jumpai di sampingnya ketika bangun tidur. Ke mana gadis itu pergi? Tak ada pesan. Ponselnya pun tak bisa dihubungi.
Arial sibuk menyeka keringat ketika terdengar ketukan di pintu. Bunyinya seperti nada penyela sebuah orkestrasi di antara debur ombak. Setelah satu helaan nafas, dengan marah dia menyeret tubuhnya ke ruang depan. Ketukan itu masih terdengar. Georgiakah itu? Dari balik pintu Arial mendengar deru nafas seseorang. Terdengar satu ketukan lagi. Dengan satu sentakan Arial membuka pintu.
Kriiit.... Suara derit pintu yang terbuka. Tak ada siapa-siapa di sana. Arial mendengus kesal, lalu bergegas berbalik arah. Namun langkahnya terhenti ketika didapatinya sesosok mahluk di depan matanya. Arial mencoba meyakinkan dirinya dengan mengedipkan matanya sekali lagi. Tapi makhluk itu tetap berada tepat di depannya. Makhluk itu tersungkur di bawah meja ruang tamunya. Dipandanginya makhluk tersebut. Sosoknya seorang perempuan, tapi itu bukan Georgia. Arial tidak mengenalnya dan tak tahu dari mana makhluk itu bisa masuk ke dalam rumahnya. Dia menangis merintih dengan menunduk. Arial tidak bisa melihat wajah perempuan itu dalam keheningan.
Dalam keremangan cahaya, tak begitu jelas terlihat wajah sosok yang ada di depan Arial. Hanya bau birch tua yang tercium, bau yang sangat dikenalnya.
Lalu, terdengar rintihan kecil, mendesah, berusaha bertutur di antara isak tangisnya.
Arial terpaku ibarat arca tua membisu, diam tak tahu harus apa, dan tetap memandang wanita yang terlihat malang itu. Guncangan bahu lemah wanita itu semakin kuat di antara isak tangis yang merintih pilu.
“Oh Tuhan, siapa wanita ini? Mengapa tiba tiba dia ada di sini? Mengapa dia ada di sini? Siapa dia? Oh....”
Kepanikan melanda isi otak Arial, yang tak jua beranjak dari keterpakuannya.
Angin pantai merasuk dari pintu rumah yang terbuka seolah sapuan kuas besar dalam ruang tamu. Tangisan itu masih mengalun bagai violin iringi guncangan bahu wanita itu
“Boleh aku tahu siapa Anda?” Arial bertanya dengan wajah berurat tanya.
“Entah kenapa kau bertanya demikian, pun aku sendiri tidak tahu siapa diriku dan kenapa aku bisa sampai terdampar di sini.''
“Brengsek! Masih saja ada yang bermain kata di hari gini. Tak tahukah kau, semua sudah hampir hancur. Jangan kau berteka-teki, jawab saja untuk apa kau di sini,” hardik Arial. Bara memeluk pada hampir seluruh wajahnya.
Perempuan itu ketakutan menatap wajah Arial. Mereka masih berteka-teki, mengapa perempuan itu bisa masuk ke rumahnya dan perempuan itu pun juga bertanya, mengapa dia bisa terdampar di tempat ini.
Mereka sekarang saling bertatap mata. Meski demikian Arial masih saja belum dapat mengenali dengan jelas siapa sebenarnya sosok perempuan yang sekarang ada di hadapannya. Apakah ia Georgianya? Jika benar, kenapa Georgia tidak mengenali dirinya? Apakah amnesia?
Masih saja bertatap mata, seakan masing-masing sedang menyusun strategi berikutnya.
”Gila, apakah aku bermimpi?” Arial mencubit lengannya, ouch terasa sakit.
“Aku tak bermimpi,” ujarnya dalam hati
Dengan saksama sambil mulai menguasai rasa panik dan penasarannya, Arial mulai menyapu pandangan ke arah tubuh wanita yang juga sedang menatapnya itu.
“Dia bukan Georgia, oh Georgia wanita yang kukenal lembut dan tidak pernah merintih terisak seperti wanita ini. Georgia hanya mengalirkan airmatanya tanpa satu isakan pun keluar dari bibirnya yang indah itu.”
Arial mulai membandingkan wanita tersebut dengan Georgia.
“Bila kau tidak tahu kenapa kau bisa ada di sini, dari mana datangnya dirimu?”
“Aku mengingat malam yang jauh. Malam yang serupa ini. Entah di mana. Apakah sesuatu tengah berulang? Aku tidak tahu. Tapi aku mengingatmu. Aku mengingat tekstur wajah dengan rasa bersalah yang sama. Inikah kau?”
Arial, lelaki yang dikalahkan, mematung pada kata yang mengingatkannya pada sesuatu. Merasakan dirinya terbenam pada tatap mata perempuan dengan desir jurang dan aroma kabut dan gema yang jauh.
“Aku mengingatmu. Entahlah. Aku mengingat bau kematian yang mandah. Apakah waktu? Apakah maut?”
Kamar itu dingin. Malam yang tengah beranjak ke tepi. Arial memejamkan matanya, berusaha untuk tidak terjatuh dalam kepusingan yang terlalu menggoda. Ia tidak lagi mengingat perempuan yang telah pergi. Ia tidak lagi mengingat alamat yang jauh, yang pernah membujuk-bujuk. Ia hanya ingin berbaring sebentar.
Suaranya menjadi semakin pelan, seperti tengah berbicara pada diri sendiri. “Kenapa aku seperti tengah merasakan pulang? Siapa kau? Dan kenapa yang tercium adalah aroma perkabungan yang murung?”

“Aku melihat pekarangan rumah dengan tanah merah dan dan derit bambu bila angin meraung-raung tengah malam.”

“Itu adalah rumah masa kecilku. Aku sudah lupa berapa lama aku pergi. Aku tidak berharap untuk mengingat dengan cara ini.”

“Aku mulai melihat semuanya. Perempuan yang menyapu halaman belakang. Lelaki yang duduk di bangku panjang dalam sunyi yang pepat. Aku melihat kampung yang mulai sepi dan ditinggalkan dan beberapa rumah lapuk oleh kesunyian.”

“Jangan diteruskan. Aku tidak sanggup. Aku tidak bisa. Aku ingin pulang. Aku tidak bersalah!”
Arial mematung melihat tanya dari balik pintu. “Aku tak mengira akan seperti ini, aku bukan Sybil yang menjadi apa dan karena siapa.”
Arial memandangnya lagi, ekspresi dalam cermin yang sudah rapuh oleh goresan-goresan wajahnya. Termangu dan diam. Entah apa yang akan dilakukanya.
Perempuan itu pun terdiam. Jemarinya yang keriput menyangga wajahnya yang tirus. Matanya mengatup, terpejam dalam-dalam, seperti berusaha membuka sekat-sekat ingatan. Mungkin dia berharap, setelah gelap dalam pejaman mata itu dia akan melihat pendaran-pendaran cahaya seperti aurora, lalu segera fragmen-fragmen masa yang belum juga bisa dia ingat tertayang dengan sempurna, dan dia akan bisa menjelaskan, siapa, dan dari mana dirinya. Mengacu pada sebuah cerita dengan kronologi yang benar, dan tempat-tempat yang tertulis dalam peta.
Arial memandang wajah perempuan itu: kantung matanya yang cekung, jemarinya yang keriput, melengkung dengan kuku-kuku panjang tak terawat. Perlahan tubuh kurus perempuan itu bergetar semakin kuat, seiring dengan semakin erat pejaman matanya. Ada rasa bersalah di hati Arial, berat, sangat berat menekan-nekan jantungnya. Mengapa dia merasa begitu dekat, namun juga asing dengan perempuan itu? Kerutan di wajah tirus itu, apakah waktu yang mengguratkannya? Ataukah kesedihan?
Dari mana saja dia? Mengapa dia datang malam ini? Mengapa perempuan ini yang mengejawantah di hadapannya, saat dia begitu merindukan wujud Georgia di pelukannya? Di mana waktu menyembunyikannya?
Dia sekejap teringat pada malam yang basah. Kalender di dinding tua merujuk angka 13. Dia yakin itu sobekan terakhir karena dia tidak pernah lupa urusan waktu dan rutinitas kantor yang membelenggunya. Birch tua di depan rumah itu bergoyang kencang diterpa badai dan hujan Januari.
Tak ada yang terucap setelah dia dengan wanita, yang selama ini mengisi hidupnya, itu terlibat percekcokan. Malam itu, Arial sekadar ingin bertanya siapa pria yang mengajak Georgia makan malam di Coffee Bean? Pria yang memapahnya ke pintu keluar menuju Limousine hitam berkaca pekat. Lalu meluncur membelah dinginnya kota, entah ke mana.
''Hey.. dua hari ini kamu menghilang?'' katanya dengan rahang mengeras saat mendapati G baru saja membuka pintu rumah. Pertanyaan bernada protes meluncur deras, tak bisa disetop. Hingga Georgia tak bisa menjawab sepatah kata.
Setiap kali mulutnya mulai terbuka, Arial menyumpalnya dengan kalimat pedas. Air mata yang mulai meleleh di pipi pun tak sanggup menghentikan sumpah serapah Arial terhadap perempuan itu. Hingga pada puncaknya, perempuan itu memilih kabur dengan menghunus sebilah pisau.
Dan setelah kepergian Georgia itu, Arial kemudian larut dan tenggelam dalam sesal yang tak tertahankan. Arial mengalami suatu episode penderitaan yang hebat dalam hidupnya. Kesepian, keterasingan, soliter....
Walau sering bersikap keras pada Georgia, namun sebenarnya dia tak bisa kehilangan dirinya. Georgia adalah nafasnya, nadinya, hidupnya....
G panggilan kesayangan Arial untuk Georgia. G yang telah membawa begitu banyak suka dan duka dalam kehidupannya. Buat Arial, ada kenikmatan tersendiri mengenang semua hal tentang G, meski harus merasakan berjuta-juta sembilu menikam dalam jantung, penderitaan yang terlalu sayang untuk dibiarkan berlalu begitu saja.
Pernah Arial mencoba melupakan G dengan menjalin kisah dengan Raah. Namun ibarat buku yang terbaca dari sampul hingga bait demi bait cerita ditaut, kenangan terhadap G semakin menguat. Maya jadi nyata dalam fatamorgana.
Benak Arial berkata, kupuja G bukan atas dasar raga, sebab G bisa merasuk bagai hantu bahkan melebihi sifat hantu itu sendiri. Tawa G mengalahkan tawa semua ceria, ngambek G lebih muram dari mendung di musim penghujan dan riang G mengalahkan terang matahri terbit.
Arial tak bisa menipu diri untuk bersama Raah, dia pergi begitu saja tinggalkan Raah yang terpaku bertanda tanya besar.
Kilatan halilintar segera saja menyadarkan Arial dari lamunan sejenak, “Ah, untuk apa aku mengenangnya? Tapi, bagaimanapun aku tidak bisa melupakannya.”
Arial berada dalam kebimbangan yang mencekam, menjerat seluruh nadi hidupnya. Cintanya kepada Georgia memang begitu dalam. Sudah separuh jiwa dan hatinya adalah milik Georgia. Namun, mengapa Georgia begitu tega mengkhianatinya dan juga meninggalkannya. Seolah-olah hanya Georgialah yang mampu mencuri hatinya, walaupun kemudian menghancurkannya.
G harus segera diakhiri, batin Arial. Percuma untuk terus mengenang. Percuma hanya menerawang. Kantung hati ini sudah semakin sesak. G tak boleh ada lagi. G harus musnah selamanya.
Arial beranjak meninggalkan ruang kelam, menerobos malam dingin berkabut. Arial tak peduli. Hatinya kini hanya mengusung bara. Lebih dari cukup untuk mendidihkan kebekuan malam. Lebih dari cukup untuk membakar G.
Cemara pun berayun perlahan. Melukiskan sapaan alam dengan lambaian. Perlahan namun memilukan. Hingga langit pun tak kuat menahan haru. Hujan pun jatuh. Menyiram bara api di hati Arial. Kilat menyeringai. Lidahnya seperti hendak menjilat daun pintu yang masih terbuka. Arial gemas pada dirinya yang masih terus dihumbalang kenangan pada G. Dia juga gemas pada perempuan yang seolah-olah terbawa oleh udara dini hari. Perempuan yang seolah-olah dibawa gerimis ke ruang tamu rumahnya. Perempuan yang kini masih meringkuk di sofa sembari menyembunyikan mukanya.
Arial menutup pintu ketika sekilatan petir kembali membuat pendar cahaya pucat di hari yang kelam itu. Dia ingin segera saja kembali ke kamarnya, menarik selimut, dan bergulung tidur. Tapi dia masih ragu. Dia takut impian horor tentang G masih akan mendatanginya.
Dalam satu helaan nafas, Arial menepuk lengan perempuan yang masih meringkuk di sofa.
''Aku benci suasana seperti ini. Aku juga tak peduli siapa kau sebenarnya. Tapi aku tak bisa membiarkanmu meringkuk di situ pada hari sejekut ini. Masuklah ke kamarku."
Perempuan itu mendongakkan wajah sebelum bangkit menuju kamar Arial. Lelaki itu memandangi langkahnya yang mirip seekor ayam betina yang tengah memikat seekor jago. Arial mendesah dan berkata pada dirinya, "Tidak, tidak!" Dia berusaha menahan gejolak berahi yang muncul mendadak. Sebab, bayangan G masih terus melintas-lintas.
Arial lalu meringkuk di atas sofa. Dingin. Dia ingin memejamkan mata. Rasanya ingin saja dirinya menyusul ke kamar dan bergulung di samping perempuan tanpa nama itu. Mungkin memeluknya, mungkin....
"Tidak!"
Dia baru terpejam setelah deraan gelisah yang panjang. Dan ketika dia terjaga ketika hari telah sangat benderang, dia tak menjumpai siapa-siapa di rumahnya. Ke mana perempuan yang datang di dini hari itu?
Arial tak mau terlarut pada keanehan itu. Dia juga meragukan dirinya benar-benar membuka pintu di dini hari dan seorang perempuan tiba-tiba meringkuk di sofa ruang tamunya.
''Apakah aku bermimpi di atas mimpi yang lain?" tanyanya pada diri sendiri.
Ya, tak mau terus berlarut-larut dengan semua peristiwa yang tampak aneh itu, Arial mengemasi pakaian dan menyiapkan kopor.
Dia tahu, dia harus pergi. Entah ke mana. Rumah pantai itu terlalu banyak menyimpan kenangan tentang G: bau tubuhnya, kikik tawanya yang manja, semua, ya semua-mua.
Ketika kopornya telah dia tutup, Arial pergi ke dapur untuk membuat kopi. Dia tak ingin tergesa-gesa. Beberapa batang rokok dan secangkir kopi mungkin bagus buatku sebelum benar-benar meninggalkan rumah ini, pikirnya.
Saat baru satu seruput kopi, dia mendengar ponselnya berdering.
"Huh,'' desah Arial kesal.
Dia menuju tempat ponselnya tergeletak. Apakah itu G yang menelepon? "Ah, tidak. Pasti bukan. Itu bukan ringtone untuk nomornya"
Dengan gemas Arial mengambil ponsel yang terus berdering. Tak ada nama yang tertera pada deretan nomor si pemanggil. Nomor asing. Arial ragu-ragu sejenak sebelum benar-benar memencet tombol hijau pada keypad.
''Halo?''
Sebuah suara renyah dan riang di seberang menyahut.
“Hi Arial, apa kabarmu say, masih ingat aku?”
Duh, perempuan selalu tidak memberi kesempatan untuk ditanya langsung saja nyerocos, guman Arial, sambil mencoba mengingat-ingat suara renyah dan riang di seberang sana.
“Siapa ya? Maaf rasanya suaramu memang familiar di kuping saya, hanya siapa ya?” Arial menjawab dengan sedikit enggan.
“Urgh, sombong bener kamu ach, masa kamu lupa denganku? Coba kau ingat-ingat siapa aku, sebel deh, tega bener kamu sampai lupakan aku....”
Nada renyah riang yang berceloteh tanpa memberikan kesempatan Arial untuk sejenak berpikir, dan Arial terlalu kalut oleh berbagai macam soal semalam yang masih terbawa saat ini di otaknya.
“Ah hanya orang iseng,'' komentar itu kembali meluncur, persis beberapa tahun silam ketika kali pertama suara wanita yang kini menjadi ''hantu'' nyasar ke ponselnya.
Georgia, begitu dia menyebut namanya setelah beberapa kali berkomunikasi dari kecelakaan bernama salah sambung. Sampai hanya menjadi bayangan, belum jelas bagaimana wanita kelahiran sebuah dusun terpencil di sebuah kecamatan dengan nama tiada dua di negeri sarang penyamun ini, bisa menyandang nama yang akhirnya tergurat tanpa ampun di hati Arial
Sumpyuh, demikian dia menyebut kota kecamatan kelahirannya (sebutan kota yang subjektif sebenarnya). Kecamatan di Kabupaten Banyumas. “Bagaimana mungkin kau menyandang nama Georgia di daerah lereng Gunung Slamet ini? Nama Tukiyem atau Narti yang dibaca dengan dialek ngapak Banyumasan aku rasa lebih pantas daripada nama dari negeri barat itu,” tutur Arial dengan nada setengah mengejek.
“Entahlah.” Selalu kalimat absurd itu yang muncul dari mulut kecilnya, dan selalu saja dibarengi dengan senyum aneh. Senyum yang tidak hanya mengguncang dan menggetarkan hati Arial, namun juga meluluhlantakkan bangunan rasio dan logika yang sudah sekian lama menjadi agama baginya.
Setelah telepon "nyasar" itu, Arial masih terdera kengungunan. Tapi ketika sadar, dia tak mau terlarut-larut dalam suasana penuh pertanyaan yang menyiksa: Siapa perempuan yang nyelonong malam-malam itu? Apakah itu bukan semata impian? Siapa pula perempuan bersuara renyah riang itu?
"Huh!"
Beberapa saat kemudian dia sudah menyeret kopornya dan mengunci menutup pintu rumah pantainya. Di luar, matahari bernyanyi riang. Tapi hati Arial tetap sumelang.

(Selesai Bagian Satu)